Kesamaan Antara Irshad Manji dan Darmoghandul

Kesamaan Antara Irshad Manji dan Darmoghandul

LintasArtikel.in - Kesamaan Antara Irshad Manji dan Darmoghandul SEKILAS judul artikel di atas tidak nyambung. Apa urusannya Irshad Manji, sang aktivis lesbian, dengan kitab kebatinan Darmogandhul? Memang, tidak ada di dalam kitab tersebut nama Irshad Manji dicatut. Penulis hanya ingin melihat beberapa kesamaan antara fenomena kedatangan Irshad ke Indonesia dengan Kitab Darmogandhul yang kontroversial ini.

Artikel ini terinspirasi tatkala mengajar materi Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Fakultas Ushuluddin ISID Gontor. Ditambah pernyataan dari seseorang yang mengusik penulis tatkala ia melihat fenomena penolakan Irshad ke Indonesia.

Teman saya, tak perlu disebutkan namanya, memang penolak gagasan-gagasan Irshad, namun ia juga menolak orang-orang yang membubarkan diskusi yang dilakukan Irshad.

“Namun demikian, saya tetap tidak setuju, bahkan mengutuk keras, semua ‘penghentian paksa’ diskusi-diskusi Manji di Indonesia beberapa hari ini. Saya yakin, bahwa pemikiran se-kontroversial apapun harus disikapi, dihadapi, bahkan dilawan dengan pemikiran juga. Otak versus otak, bukan otot. Bukankah al-Qur’an memerintahkan kita untuk mengajak ke jalan Tuhan dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebat dengan argumen yang lebih baik?,” begitu katanya.
Pernyataan teman di atas hampir sama dengan yang dilontarkan Ulil Abshar Abdallah ketika terjadi pembubaran bedah buku Irshad. “Kami selalu membuka ruang dialog dengan siapa saja, tapi kalau sudah mengedepankan kekerasan dengan mengatakan orang yang berbeda pendapat dengan mereka adalah kafir ini bukanlah sikap yang intelektual,” jelas aktivis Islam Liberal yang juga anggota dari Partai Demokrat ini.

Pernyataan teman itu, jika dilihat sekilas memang benar. Al-Qur’an memang telah memerintahkan kita untuk mengajak ke jalan Tuhan dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebat dengan argumen yang lebih baik. Namun perlu diketahui, bahwa Irshad sudah beberapa kali diajak dialog, debat, maupun adu argumen. Sebagaimana yang diberitakan sebuah media Islam,  ketika peluncuran bukunya di Salihara, Irshad Manji sendiri menolak untuk diajak diskusi. Padahal, ketika acara tersebut seorang peserta juga sudah mengusulkan untuk perlunya membuka ruang dialog dengan perwakilan aktivis yang menentang kegiatan tersebut.

“Posisi kita sebagai orang yang menghargai kebebasan, mengapa kita tidak mengundang mereka (para pendemo) untuk berdialog secara terbuka, agar mereka juga tercerdaskan dan bisa dewasa dalam memahami kebebasan berpendapat”, ujar peserta kala itu.
Namun usulan tersebut ditolak oleh Irshad, ia justru mengatakan bahwa pihak yang tidak setuju dengannya dan ingin membubarkan acaranya adalah kelompok yang tidak bisa dirubah cara berpikirnya.

“Saya tidak percaya bahwa dialog kita dengan mereka akan merubah cara berpikir mereka. Pikiran mereka telah tercipta seperti itu, pikiran mereka telah terdogma untuk tidak berubah,” kata Irshad.

Umat Islam yang menolak diadakannya kegiatan Irshad telah melaksanakan Surat al-Nahl: 125, sebagaimana yang dianjurkan teman di atas. Akan tetapi faktanya Irshad menolak untuk diajak diskusi. Lantas, siapakah yang tidak ilmiah di sini? Apakah para penolak atau Irshad sendiri?

Menjawab pernyataan teman saya tadi,  saya berpendapat, “Bisakah kita menjamin semua audiens yang anti terhadap Irshad memiliki kapasitas keilmuan untuk beradu logika dengan Irshad? Alih-alih ingin menolak, takutnya yang awam dan tidak mempunyai kapasitas keilmuan Islam malah ikut-ikutan mendukung gagasan Irshad. Sampai di sini, di manakah tanggungjawab kita sebagai Umat Islam? Di samping itu, terdapat fakta bahwa memang ada orang-orang yang tergerak menolak Irshad secara spontan karena menilai pemikiran Irshad benar-benar salah. Dan orang-orang ini eksis, ada, alias real. Kalau kita mengajak menghormati Irshad dan orang-orang JIL dengan pemikirannya, kita juga harus adil memperlakukan orang-orang yang menolak Irshad dan JIL, kita harus juga menghormati penolakan mereka.
Demikian pula dengan Kitab Darmogandhul yang telah menimbulkan pro dan kontra. Yang pro terhadap karya ini mengatakan bahwa kita harus bijak menyikapi cacian, ejekan, atau hinaan terhadap umat Islam yang ada dalam Kitab itu. Dari situ, umat Islam akan menjadi bijak dan mendalami agamanya. (Baca: Wawan Susetya, Kontroversi Ajaran Kebatinan, (Yogyakarta: Narasi, 2007).

Masalahnya, apakah semua orang bisa bijak, pintar, dan mumpuni memfilter ajaran-ajaran yang terdapat dalam Darmogandhul, meski menyesatkan? Jawabannya, bisa jadi, umat Islam yang awam terhadap ajarannya malah ngikut dan mengamini ajaran-ajaran Darmogandhul.

Barangkali, itulah kesamaan antara Irshad dan Kitab Darmogandhul ini. Bahwa dua-duanya sama-sama mencela Nabi Muhammad SAW. Dalam bukunya “Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini” halaman 96-97, Irshad mengatakan:

“Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Qur’an. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan al-Qur’an.”

Adapun dalam Kitab Darmogandhul juga demikian, di situ tertulis:

“Yen nyebut nabi Muhammad, Rasulullah panunggal para nabi, Muhammad makaman kubur, rasa kang salah, mila ewah bengok-bengok enjing surup, nekem dada celumikan, jungkir-jungkir ngaras siti. Sedaya teda wineda, trancam cacing, dendeng kucing sinirik, pindang ketek, opor lutung, botoke sawer sawa, sate rase, lemeng kirik, pindang asu, bekakak babi andapan, gorengan kodok, lan cindil. Gecok lintah ingkang mentah, becek usus sona ingkang kebiri, kare kuwuk, bestik gembluk, niku winastan karam, langkung sengit kalamun ningali asu, ulun kinten terus ing tyas, batose resik kumresik.”

Bahkan yang pro-kontra terhadap keduanya pun juga hampir sama. Jika umat Islam diajak bijak menyikapi fenomena Irshad dengan dialog dan tanpa kekerasan, seharusnya juga harus bijak bahwa ajakan itu sudah dilakukan dan Irshad menolak.

Kalau kita diajak menghormati Irshad dan orang-orang JIL dengan pemikirannya, maka, sepatutnya kita juga harus adil memperlakukan orang-orang yang menolak Irshad dan JIL. Kita harus juga menghormati penolakan mereka, karena mereka merasa terganggu dengan adanya Irshad. Ingat kekerasan bukan hanya terhadap fisik semata, kekerasan non-fisik, seperti akidah, jauh lebih menyakitkan para pengautnya.

Semoga Irshad dan pendukungnya sadar telah menyakiti keyakinan dan perasaan mayoritas Umat Islam Indonesia. Dan semoga pula, para aktivis JIL tak lagi menyakiti perasan umat Islam dengan kembali menghadirkan tokoh-tokoh tidak perlu seperti Manji, yang akhirnya kembali melukai perasaan umat.*